Search at here!

Selasa, 18 Mei 2010

Anak anda kreatif?

Agar anak bisa kreatif Ada 3 ciri anak kreatif yang dominan : 1. Spontan 2. Rasa ingin tahu 3. Tertarik pada hal-hal yang baru Dan ternyata ke 3 ciri-ciri tersebut terdapat pada diri anak. Berarti semua anak pada dasarnya adalah kreatif, dan faktor lingkunganlah yang menjadikan anak tidak kreatif. Sedangkan kewajiban orang tua sebenarnya bukanlah mencetak, tetapi lebih pada mempertahankan agar anak tetap kreatif sebagaimana aslinya. Apakah kita sebagai orang tua mampu untuk mempertahankan kreatifitas anak ?

4 Kunci Mempertahankan Kreatifitas Anak Membangun kepribadian anak dengan modal cinta Dengan cinta maka orangtua dapat menerima anak apa adanya. Terlepas dari apakah orangtua melihat kelebihan anak ataukah tidak, terlepas dari apakah orangtua menyukai cacat (kelemahan) anak atau tidak. Tentu saja hal ini hanya mungkin bagi orangtua yang memiliki tanggungjawah. Orangtua yang baik tidak akan menuntut anaknya untuk sama dengan anak lainnya. Karena setiap individu adalah unik. Kita dapat membentuk kepribadian anak kita, tetapi bukan untuk menyamakan karakter mereka. Seperti kita lihat sahabat Umar ra, Abu Bakar ra dan sebagainya, mereka tidak memiliki karakter yang sama meskipun masing-masing mereka merupakan pribadi-pribadi yang islami. Keunikan mereka justru menjadian mereka ibarat bintang-bintang yang gemerlapan di langit, terangnya bintang yang satu tidak memudarkan terangnya bintang yang lain. Begitu pula halnya dengan kreatifitas, setoap sahabat adalah insan kreatif. Masing-masing mereka memiliki dimensi kreatifitas sendiri-sindiri. Salman Al-Farisi penggagas perang parit, Umar bin Khattab penggagas ketertiban lalu lintas, Abu Bakar Ash-Shiddiq penggagas tegaknya sistim ekonomi islam, Khalid bin Walid penggagas strategi perang moderen dan banyak lagi. Tinggal yang menjadi masalah sekarang adalah, kita para orangtua kurang bersungguh-sungguh untuk menemukan bakat-bakat dan minat-minat yang dimiliki oleh anak. Seolah-olah kita para orangtua lebih suka anak kita menjadi fotokopi orang lain, ketimbang dia tumbuh sebagai suatu pribadi yang utuh. Kalau anak-anak Amerika dengan shibghah (celupan) individualis liberalis dapat mengatakan : I want to be me ! Mengapa anak-anak kita, anak muslim tidak dapat mengatakan : Ana Abdullah ( Saya abdi Allah) ! Kalau kepribadian menentukan kreativitas, maka seorang muslim pada hakekatnya memiliki potensi kreatif lebih besar dibandingkan ummat-ummat lainnya. Karena kepribadian islam tiada tandingannya.

Menumbuhkan dan Mengembangkan Motivasi Kepribadian yang kuat biasanya memiliki motivasi yang kuat pula. Tapi karena kreatifitas itu dimulai dari suatu gagasan yang interaktif, maka dorongan dari luar juga diperlukan untuk memunculkan suatu gagasan. Dalam hal ini para orangtua banyak berperan. Dengan komunikasi dialogis dan kemampuan mendengar aktif maka anak akan merasa dipercaya, dihargai, diperhatikan, dikasihi, didengarkan, dimengerti, didukung, dilibatkan dan diterima segala kelemahan dan keterbatasannya. Dengan ini anak akan memiliki dorongan yang kuat untuk secara berani dan lancar mengemukakan gagasan-gagasannya. Selain komunikasi dialogis dan mendengar aktif, untuk memotivasi anak agar lebih kreatif, sudah seharusnya kita memberikan perhatian serius kepada aktifitas yang tengah dilakukan oleh anak kita. Seperti misalnya melakukan aktifitas bersama-sama mereka. Kalau kita biasa melakukan shoum dan shalat bersama anak-anak kita, mengapa untuk aktifitas yang lain kita tidak dapat melakukannya ? Bukanlah lebih mudah untuk mentransfer suatu kebiasaan yang sama ketimbang harus memulai suatu kebiasaan yang sama sekali baru ? Dengan demikian sesungguhnya seorang muslim memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadikan anak-anak mereka kreatif. Tinggallah sekarang bagaimana kita sebagai orangtua muslim senantiasa berusaha untuk memperkenalkan anak-anak kita dengan berbagai hal dan sesuatu yang baru untuk memenuhi aspek kognitif mereka. Agar mereka lebih terdorong lagi untuk berpikir dan berbuat secara kreatif. Suatu hal yang perlu dicatat dalam memotivasi anak agar kreatif, lakukanlah serekreatif mungkin dan hindarilah kesan-kesan rekonstruktif.

Mensistimatisir Proses Pembentukan Anak Kreatif Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam pembentukan anak kreatif adalah : Pertama : Persiapan waktu, tempat, fasilitas dan bahan yang memadai. Mengenai waktu dapat berkisar antara 5- 30 menit setiap hari, sangat tergantung pada bentuk kreatifitas apa yang hendak dikembangkan. Begitu pula halnya dengan tempat, ada yang memerlukan tempat yang khusus dan ada pula yang dapat dilakukan di mana saja. Fasilitas tidak harus selalu canggih, tergantung sasaran apa yang hendak dicapai. Bahan pun tidak harus selalu baru, lebih sering justru menggunakan bahan-bahan sisa atau bekas. Kedua : Mengatur selang seling kegiatan. Kegiatan diatur sedemikian rupa agar dalam melakukan aktifitas tersebut anak-anak terkadang melakukan aktivitas secara individual, tetapi adakalanya juga melakukan aktifitas secara kelompok. Terkadang anak-anak melakukan aktivitas secara kompetitif, terkadang juga secara kooperatif . Ketiga : Menyediakan satu sudut khusus untuk anak dalam melakukan aktifitas Kita dapat menyediakan satu sudut di rumah untuk menghamparkan sajadah dan kemudian shalat diatasnya. Mengapa kita tidak dapat menyediakan sudut khusus untuk kreatifitas anak-anak kita ? Keempat : Memelihara iklim kreatifitas agar tetap terpelihara Caranya dengan mengoptimalkan point-point yang telah disebutkan pada kunci no 2 untuk mempertahankan kreatifitas anak.

Mengevaluasi Hasil Kreativitas Selama ini kita sering terjebak untuk menilai kreatifitas melalui hasil atau produk kreatifita. Padahal sesunggunya proses itu lebih penting ketimbang hasilnya. Pentingnya penilaian kita terhadap proses kreatifitas, bukan berarti kita tidak boleh menilai hasil kreatifitas itu sendiri. Penilaian tetap dilakukan, hanya saja ada satu hal yang harus kita perhatikan dalam menilai. Hendaknya kita menilai hasil kreatifitas tersebut dengan menggunakan perspektif anak dan bukan menggunakan perspektif kita sebagai orang tua. Kalau kita mendapati seorang anak berusia 3 tahun dan kemudian dia dapat menyebutkan angka dari 1 sampai 10 apakah kita akan mengatakan, “Ah, kalau cuma kaya’ begitu saya bisa !” Tentu saja satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam mengevaluasi prosos dan hasil kreatifitas adalah “Open Mind” atau dengan “Pikiran yang terbuka”. Apalagi anak seringkali mengemukakan gagasannya atau menelurkan suatu hasil kreatifitas yang tidak lazim. Setiap kali kita mengevaluasi hasil tersebut, kita harus selalu memberikan dukungan dan juga penguatan. Dan begitu juga sebaliknya, jauhi celaan dan hukuman … agar anak kita tetap kreatif.

Anak = Peniru no. 1

Anak adalah peniru no.1 Benar sekali, semua orang juga sadar bahwa anak adalah buku putih polos dan para orangtualah yang dapat menuliskan banyak hal yang ingin terbaca di buku itu. Pada perjalanan hidup berikut, setiap anak yang beranjak remaja dan kemudian dewasa akan mencari ‘tulisan’ baru sendiri dari guru, teman dan juga rekan kerja serta rekan di lingkungan tempat tinggal. Tetapi sebagai orangtua, kitalah yang menuliskan kata-kata pertama di buku putih polos tersebut. Maka, kita perlu ‘menuliskan’ kebiasaan-kebiasaan yang sangat baik untuk kehidupan mereka. Termasuk merawat kesehatan tubuh mereka sendiri. Ketika Anda lupa untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan baik di depan anak (atau anak-anak), maka mereka akan menganggap itulah hal yang benar. Kebiasaan yang benar. Lalu kemudian ketika Anda mengajarkan mereka untuk melakukan hal itu sebagai kebiasaan, mereka akan bertanya-tanya, mungkin dalam hati bahkan mungkin langsung protes kepada Anda, mengapa Anda tidak melakukan hal itu dan menjadikannya kebiasaan Anda. Lalu berarti bila saya ingin membiasakan anak saya melakukan hal-hal baik, seperti menyikat gigi sebelum tidur, apakah berarti saya juga harus menunjukkan itu kepada anak bahwa saya biasa melakukannya? Ya, mau tidak mau. Memang begitu cara mereka belajar. Beberapa anak-anak memang cukup penurut untuk melakukan apapun yang diajarkan orangtua mereka. Tetapi kebanyakan anak sekarang akan melihat apakah hal yang diajarkan itu juga dipatuhi oleh orangtua mereka. Ketika orangtua mengajarkan agar anak-anak untuk mandi di sore hari, tetapi orangtua bahkan tidak mandi setelah pulang kerja hingga tidur malam, maka mereka merasa bahwa itu bukan sesuatu yang pantas dijadikan kebiasaan. Mereka akan menganggap bahwa itu hanya perlu dilakukan oleh anak-anak. Akan tertanam secara tidak sadar di kepala mereka bahwa kegiatan yang Anda ajarkan tidak perlu lagi dijadikan kebiasaan ketika mereka sudah remaja atau sudah dewasa. Apalagi Anda juga memang tidak lagi merasa perlu mengawasi kebiasaan mereka ketika sudah remaja atau bahkan ketika sudah dewasa. Anak kecil selalu penasaran dengan apa yang dilihatnya, sehingga cenderung meniru apa yang dilakukan oleh orang lain terutama orangtua yang selalu dekat dengannya. Meniru sebenarnya adalah salah satu proses alamiah yang dialami oleh hampir setiap anak, ini juga bisa dibilang sebagai suatu bentuk pembelajaran. Anak lebih banyak belajar dari apa yang dilihat di sekitarnya, jadi semua orang bisa mempengaruhi sikap si anak. Sebaiknya biarkan anak mencoba agar tidak penasaran selama tidak menyimpang dan kebablasan. Jika kebiasaan itu diteruskan, maka bisa jadi nantinya si anak akan tumbuh dewasa lebih cepat sebelum waktunya. Hal ini bisa mempengaruhi perilakunya sehari-hari terutama saat bermain dengan teman seusianya, sehingga tidak mencerminkan kelakuan dari seorang anak. Sebaiknya gunakanlah segala sesuatu yang memang untuk anak-anak. Hal yang paling penting adalah jangan pernah memarahi atau membentak anak saat sedang meniru orangtuanya, tapi cukup berikan penjelasan bahwa belum saatnya si anak menggunakan barang-barang seperti itu.